"Keberanian
adalah saat kau tahu kau akan kalah sebelum memulai, tetapi kau tetap
memulai dan kau merampungkannya, apapun yang terjadi. Kau jarang menang,
tetapi kadang-kadang kau bisa menang"
_Harper Lee
Menjadi
berani buat saya sampai saat ini selalu diidentikkan dengan sesuatu
yang ekstrem. Sesuatu yang dilakukan seseorang ketika yang lainnya
memilih untuk tidak melakukannya. Benar-benar, entah dari mana saya
mendapatkan gambaran itu. Saya salah menafsirkan berani dengan nekat.
:-D
Beberapa
hari belakangan, banyak hal yang terjadi yang memutarbalikkan semua
yang saya ketahui tentang definisi berani. Saya sedang berada dijalur
cepat beberapa saat yang lalu. Semua hal dihidup saya seolah-olah memacu
saya untuk menyelesaikan semua dengan cepat dan benar secara bersamaan.
Terkadang saya sampai sesak nafas memilih mana duluan yang harus saya
selesaikan. Apalagi saya tipe orang yang tidak bisa membiarkan sesuatu
yang saya kerjakan, berakhir dengan hasil yang buruk menurut saya. Saya
akan berusaha sekuat mengkin menyelesaikan sesuatu yang saya kerjakan
sekuat-kuat saya mampu berusaha. Untuk itu, terkadang, saya lebih
memilih tidak mengerjakan sesuatu apabila saya tahu saya tidak akan bisa
maksimal disana.
Namun,
ketika keadaan memaksa saya untuk mau tidak mau harus mengerjakan semua
hal, semua tanpa terkecuali harus saya selesaikan dalam waktu yang
bersamaan, saat itu saya sadar, bukan bagaimana nanti hasilnya yang
membuat segala yang saya kerjakan berarti. Akan tetapi, berani tidak
saya memulai tanpa jaminan apa-apa. Berani tidak saya melangkah tanpa
tahu di ujung sana apa yang menunggu saya. Ini seperti saya memutukan
untuk terjun dari ketinggian tanpa tahu ada tidak yang akan menangkap
saya dibawah sana.
Akhirnya,
saya memutuskan untuk terjun bebas, untuk mencoba menyelesaikan semua
sebisa saya. Entah nantinya akan seperti apa, setidaknya saya sudah
mencoba. Begitu pikir saya diawal. Sebisanya saya mencoba menunaikan
kewajiban saya sebagai seorang anak, sebagai seorang mahasiswa, sebagai
seseorang yang tergabung di organisasi dimana saya memiliki tugas yang
mau tidak mau harus saya kerjakan, mencoba tidak menyampingkan peran
saya sebagai seorang adik, seorang yang memiliki sahabat, seseorang yang
memiliki tuntutan akademis, seseorang yang harus menjadi kebanggan
orang tua saya, seseorang yang harus menyelesaikan sesuatu yang dipilih
untuk ditekuninya sejak pertama. Ketika semuanya itu digabungkan,
terkadang rasanya saya tidak mampu bernapas.
Akan
tetapi, dalam prosesnya, saya sadar, tidak hanya saya yang sedang
berjuang. Setiap orang memiliki pertempurannya masing-masing. Pilihannya
untuk memulai dan mengakhiri bagaimana harusnya segala sesuatu itu
harus berakhir. Hal itu yang membuat saya seolah terbangun. Memikirkan
segala sesuatu tanpa melakukan langkah apapun untuk menyelesaikannya
tidak akan menjadikan beban itu lebih ringan. Mulailah dengan
mengerjakan satu-persatu. Dengan langkah-langkah kecil pada awalnya yang
akan membuatmu berlari dan kemudian terbang suatu saat.
Ketika
saya sedang berlari kesana-kemari berusaha menyelesaikan segalanya,
sesuatu terjadi yang hampir saja membuat langkah saya terhenti. Saya
hampir saja memilih untuk mundur. Saya, yang satu-satunya hal yang
sangat saya tabukan adalah berbohong, entah dengan alasan apa, entah itu
hanya asumsi, atau memang ada hal yang terjadi yang dalam prosesnya
membuat orang kehilangan kepercayaan kepada saya. "Dia itu tidak bisa dipercaya. Selalu saja beralasan bila mengerjakan sesuatu".
Ah, sampai saat ini pun saya terkadang masih merasa sedemikian
kecewanya bila mengingat kata-kata itu. Akan tetapi, terlintas dipikiran
saya, orang lain tidak benar-benar tahu apa yang saya hadapi. Orang
lain, semirip apapun sesuatu yang pernah terjadi dihidupnya dengan apa
yang saya alami, namun tidak akan pernah benar-benar sama. Orang lain, ya
orang lain. Dengan proses berpikir dan memandang sesuatu yang tentu
saja sangat berbeda dengan saya. Jadi, mengapa saya harus membiarkan
penghakimannya kepada saya menjadi sesuatu yang benar-benar nyata? Dia
memberi label kepada saya, itu haknya. Dan saya belum tentu sesuai
dengan apa yang dia katakan. Saat itu, kakak saya mengirimkan sebaris
kalimat yang sedikit melegakan saya.
"Ketika
seseorang memberikan penilaian kepadamu, itu sama sekali tidak
menunjukkan orang seperti apa kamu, lebih kepada orang seperti apa
dirinya"
* * *
Namun
tetap saja itu menyakiti hati saya. Saya, selalu saja menghindari
memberi label kepada orang lain. Karena saya juga sangat benci dilabeli
orang lain dengan seenaknya. Saya sadar, saya tidak akan pernah
benar-benar tahu apa yang dia lakukan dibelakang saya. Melihat pun,
belum tentu sesuai dengan apa yang orang lain maksudkan. Kita tidak akan
pernah benar-benar mengerti alasan orang lain melakukan sesuatu. Saat
itu, saya memutuskan menyelesaikan kewajiban saya untuk kemudian memilih
mundur. Tenggat waktu seminggu yang diberikan untuk menyelesaikan
proyek #kerjakeras, demikian salah seorang senior saya diorganisasi
menyebutnya, saya pergunakan sebaik-baiknya untuk menikmati detik-detik
terakhir saya berada dilembaga tersebut. Saya berpikir, saya tidak akan
sanggup berada di tempat orang-orang, yang harusnya dewasa menurut saya,
seenaknya saja memberi asumsi yang melemahkan tekad saya untuk
berjuang. Apalagi ketika dia tidak benar-benar tahu apa yang terjadi
kepada saya. Proses saya mengkomunikasikan keadaan saya, yang mungkin
membuatnya mengambil kesimpulan saya sedang beralasan.
Pada
akhirnya, ketika semua kewajiban saya telah terselesaikan, ketika
keesokan harinya menjadi hari saya memilih untuk mundur, suatu kebetulan
kecil terjadi. Senior saya, pada hari yang sama, memposting sesuatu di
blog pribadinya. Sesuatu yang mungkin kecil, dan hanya dilakukan karena
iseng, atau entah dengan alasan apa. Namun hal tersebut sedikit
menyentil saya. Apa yang saya lakukan mungkin bagi saya kecil, akan
tetapi tidak sama halnya dengan anggapan orang lain. Ketika saya
menyelesaikan sesuatu yang memang merupakan kewajiban saya, saya tidak
menyadari betapa sesuatu yang saya anggap biasa saja itu, dimata orang
lain menunjukkan keberanian saya. Menunjukkan kemauan saya untuk
berjuang dan menyelesaikan, apapun hasilnya nanti. Postingan itu membuat
saya sadar, mengapa saya harus kehilangan keberanian hanya karena orang
lain memiliki anggapan yang salah mengenai saya? Mengapa saya harus
membiarkan anggapan orang lain menjadi lebih benar dari kenyataan yang
saya hadapi sendiri? Towh, dia tidak benar-benar tahu apa yang harus
saya hadapi.
* * *
|
Google |
Berani
itu tidak seberat saat kamu menaklukkan puncak everest. Berani itu
tidak berarti kamu mesti melompati lingkaran api. Berani itu sederhana.
Berani itu, ketika kamu memilih memulai sesuatu yang sederhana dan
dengan tekun menyelesaikannya hingga akhir. Berani itu, saat kamu tetap
bangun dan menghadapi hari yang kamu tahu akan berat dihadapi. Berani
berkata tidak kepada sesuatu yang menurutmu tidak benar, meski harus
berhadapan dengan mayoritas yang menentangmu. Dan terkadang berani itu,
berarti mengakui bahwa kamu tidak selalu bisa. Kamu tidak selalu mampu
melakukan sesuatu dengan baik dan benar. Yang membuatmu menjadi berani
bukan apa yang kamu hasilkan, tapi pilihanmu untuk tetap melangkah dan
menyelesaikan, apapun hasilnya nanti.
*
PS : Untuk postingan kecil yang mengembalikan keberanian saya, terima
kasih banyak.Terima kasih untuk tidak membiarkan saya menjadi pengecut
dan mundur dari pertempuran yang belum saya selesaikan. Terima kasih
untuk tetap menyisakan sedikit kepercayaan kepada saya ketika kenyataan
yang tampak, membuat saya berada diposisi yang meragukan. Kumawo.... :-)