Rabu, 15 Januari 2014
I Will Survive
~ Fahd Djibran


/I/

V, berapa banyak jejak kaki yang tertinggal di punggungmu, dari mereka yang meminjam tubuhmu untuk berpijak, menapak ketinggian lalu meludahi wajahmu atau melambaikan tangan tanpa salam perpisahan? Berapa kali harus kau hirup sesak udara kecewa, berapa lama lagi kau harus terus mengubah duka dan amarah menjadi selengkung senyum palsu di wajahmu?

/II/

V, kadang-kadang waktu menjelma pasir pantai di genggaman tangan kita yang rapuh, menggugurkan sejumlah kesempatan—dan mungkin kita tak bisa memungutnya kembali. Sebab ada sejumlah rahasia yang tetap harus kita sembunyikan dalam kepalan, menjadi semacam tinju yang selalu urung kita lemparkan pada seratus ribu wajah kesombongan dan kemunafikan. Maka rentangkan saja tanganmu, V, bukan untuk menyerah: Biarkan angin menyambut pelukmu, membelai wajahmu yang ragu. Sementara, simpanlah perih dalam dua matamu yang terpejam, bersabarlah, barangkali kau memang ditakdirkan menjadi seseorang yang setiap hari harus mengeringkan air matanya sendiri.

/III/

V, aku melihat nyala api di hatimu. Bara yang menempa keberanian dan mematangkan batinmu. Jagalah nyala itu, V, tapi jangan biarkan tubuhmu terbakar! Aku pernah melihat orang-orang dengan tubuh yang terbakar, nyala api membutakan mata mereka, rambut api berkobar-kobar di kepala mereka, lidah api membakar kata-kata mereka: Orang-orang kalah yang sedang menghancurkan diri sendiri! Jadilah manusia yang lebih kuat dari amarahnya sendiri, V. Masuklah kedalam golongan mereka yang lebih lembut dari apapun yang lebih tipis dari segala kepalsuan selaput halus yang tak berjarak dari kedua bola matamu—sebab yang paling halus itulah yang menggerakkan yang paling berat sekalipun. Demikianlah kita diajarkan, V, dari hal-hal baik, belajarlah mengucap syukur. Sementara dari hal-hal buruk, belajarlah untuk menjadi lebih kuat.

/IV/

V, aku mendengar getar suaramu, lirih doa-doamu, dalam nada-nada yang kaurahasiakan dari hiruk-pikuk pesta dunia. Dan tiba-tiba aku ingin menuliskan bait ini, barisan kata-kata yang di dalamnya kupanggil namamu seperti teman lama yang saling bertanya dalam gelap malam yang selalu memikul banyak kegelisahan. Semua yang ada pada diriku, V, kekalahan dan kegagalan-kegagalan, terangkum dalam melodi-melodi patah hati yang kau teriakkan. Aku suka kata-katamu tempo hari, V, “Semua orang perlu kekalahan, tetapi kekalahan bukan tempat tinggal yang baik...

/V/

V, aku bahagia ketika kau mengemasi lagi ranselmu dan mengikat kembali tali sepatumu. Kau yang mengembalikan semangatmu, membuatku seribu tahun lebih muda dan jauh lebih kuat memikul beban dunia. Aku suka melihat matamu yang tegar menatap cakrawala, sekali lagi, tubuhmu yang berdiri tegap, sekali lagi, senyummu yang seolah menantang keangkuhan kenyataan, sekali lagi. Tiba-tiba aku melihat dirimu yang berbeda sedang berdiri di atas dua sepatu yang sama. Tiba-tiba luka-luka dalam diriku menyembuhkan dirinya sendiri. Tiba-tiba segala yang telah gagal membunuhmu, menjadikanmu jauh lebih kuat... dan jauh lebih kuat dari sebelumnya...

/VI/

Apa yang telah membuatmu bertahan, V? Apa yang membuatmu kembali bangkit dari kegagalan? “Kita memanggilnya dalam gelap. Dia yang tak terlihat, tak tercium, tak teraba dan tak terdengar... tetapi selalu datang!” Katamu. V, aku selalu suka kata-katamu tentang Muasal Segala Sesuatu, aku selalu suka deskripsimu tentang Akhir dari Segala Sesuatu. Dan kita yang berada di antara kedua batasnya, tak bisa sejengkalpun lari dari wilayahnya!

/VII/

Teruslah bernyanyi, V.
* * *

Untuk itu, teruslah berjalan. Tidak perduli seberapa berat, tidak perduli seberapa sulit. Perjalananmu bukan mengenai penghargaan. Perjalananmu adalah pencarian, pencarian akan bahagia. Bahagia ketika kau mampu mencintai dirimu sendiri apa adanya, sebelum orang lain melakukannya terlebih dahulu untukmu. Bahagia ketika kau mampu menerbitkan satu saja senyum dibibir orang lain, karenamu. Bahagia, ketika ayah-ibumu dapat berkata "itu anak saya", ketika kakak-kakak lelakimu dapat dengan bangga berucap "itu satu-satunya adik perempuan saya".
Teruslah berjalan!
Dekap erat mimpi-mimpimu.
Kau berutang jadikannya nyata.
Ingat kembali hari ini, kata-kata ini, ketika suatu saat nasib kembali menelikungmu jatuh.

Rabu, 08 Januari 2014

Semua Akan Baik-Baik Saja

Harusnya hari ini ada resensi buku yang telah saya janjikan kepada diri sendiri untuk di terbitkan. Harusnya hari ini beberapa laporan telah saya selesaikan untuk keperluan kuliah. Harusnya hari ini saya habis mengkaji Al-Quran, setidaknya selembar. Harusnya hari ini saya menghadiri rapat dimana saya bertanggungjawab disana.

Harusnya. . .

Seharusnya banyak kewajiban yang mesti saya tunaikan. Namun, seperti beberapa hari yang lalu, saya hanya berdiam di kamar. Betah memandangi dinding putih, sesekali beralih pada baris-baris buku yang saya tumpuk saja disamping bantal, tak usai terbaca.

Beberapa hari ini, saya kembali perlu obat untuk mengantar paksakan lelap. Beberapa hari ini saya sedang tak menjadi anak yang baik, sahabat yang pengertian, pelajar yang seharusnya.
Beberapa hari ini, saya menjadi manusia yang sia-sia, manusia tak bermanfaat.

Beberapa hari ini.... Saya....

Beberapa hari yang terlewat sia-sia sejak pekik ramai orang, serta cemerlang kembang api mengawali tahun. Lembaran yang baru, seharusnya. Tetapi telah beberapa tahun saya begitu tidak menyukai awal penanggalan masehi. Tidak menyukai hal-hal yang terbawa kenangan pada hari itu tepatnya.

Lagi-lagi, otak kiri saya memproses alasan. Membenarkan perilaku diri. Harusnya yang kanan, yang mencari solusi. Solusi masalah mungkin. Masalah? Ada masalah, atau kamu yang mendefinisikan keadaan sebagai masalah?

"Ini sudah 2014, masa kamu masih begini saja?"
Iya. Saya masih seperti ini. Memikul beban setahun kebersamaan seperti Atlas memanggul langit.
Begitu merasa berat. Begitu merasa tersiksa. Begitu merasa Tuhan tak adil.

Dimana tak adilnya Tuhanmu, Yeni?
Diingatkan-Nya kau bila lupa. Dituntun bila tersesat.
Masih selalu ada jalan kembali.
Masih selalu ada kesempatan memulai.
Masih selalu dapat kau mengadu bila suatu saat nasib menelikungmu jatuh, sekali lagi.
Masih selalu ada janji yang mampu kau tepati.
Napasmu masih berhembus kan?

Jadilah kuat!
Ingat, Sintha menerobos hutan, bertahun-tahun terusir, terfitnah, bertahan hanya dengan satu rapalan "Semua akan baik-baik saja. Saya pasti kuat"
Bangun kembali. Tunaikan apa yang masih berupa janji. Kamu pasti bisa. Kamu pasti kuat. Karena, semua akan baik-baik saja!

Semoga.

Makassar, 8 Januari 2014

Senin, 06 Januari 2014

Kamu Lupa Mengajakku Ikut Serta

Hari ini kamu tersenyum. Tapi aku tidak bisa ikut tersenyum. Kamu lupa mengajakku ikut serta.
~ Fa
. . .




Bukankah tidak ada yang abadi di dunia ini? Apalagi hati manusia. Sedetik begini,
detik berikutnya bisa saja berubah drastis.
Namun kamu tahu, saya sudah dengan sekuat tenaga mencoba menggenggam
agar lingkaran kita tetap utuh. Akan tetapi menggenggam sendiri
suatu saat pun saya akan lelah sendiri. Tidakkah kamu ingin mempertahankan saya?
mempertahankan kita?

Mungkin genggaman saya yang tidak erat, atau mungkin kamu yang melepaskan.
Kita tidak akan pernah benar-benar tahu . Saya yakin, kamu pun berusaha. Entah dengan cara apa.
Hanya usaha kita mungkin tak memadai.
Terlalu banyak mungkin. Terlalu banyak ketidak pastian.
Sejak kapan kita mulai berhenti saling berbicara? Berbicara tentang langit yang saya suka, tentang
bintang, hujan, pelangi, dan matahari yang kamu cintai. Berbicara tentang apa saja.

Ha-hal yang sudah kita bangun bertahun-tahun,
dinding-dinding diantara kita yang perlahan-lahan mulai runtuh, mengapa kini malah terasa semakin menebal?
Kita yang seperti ini? Atau hanya saya yang terdampar jauh?

September kita akan segera datang.
Ayo melewatkannya bersama lagi. Seperti dulu, seperti september pertama yang kita habiskan bersama.
Tanpa terkecuali kali ini. Benar-benar kita yang utuh. Kita BERLIMA.

***

*Ini saya tulis, sebelum september ketiga kita menjelang.
Dan harapan saya terkabul. 20 September, hanya kita BERLIMA. 
Terima kasih Tuhan. ^-^
Minggu, 05 Januari 2014

Tetap Seperti ini Saja

Tetap seperti ini saja
Kau tahu persis warna kesukaan saya putih, saya tahu persis kau cinta warna biru. Cukup sampai disana. Tak elok bila saya terlampau banyak tahu tentangmu. Siapa dapat menahan bila harap semakin besar bukan?

Cukup seperti ini saja
Kau, bertandanglah kemanapun kau suka. Sesekali, saat kau berbalik, seulas senyum sudah cukup
Demikian pula tepukan sayang dikepala. Cukup. Cukup seperti itu saja.

Tetap seperti sekarang saja
Jangan pernah berharap "bilakah tiba saatnya nanti?". Sebab 'nanti' adalah kata yang berbahaya. Bisa habis kau dibabat luka. Luka harapan yang tak akan pernah sampai.

Tetap seperti saat ini saja
Menyimpan asa akan masa depan yang tak pasti bukan hal yang bijaksana. Apalagi dengan keadaan yang terlalu banyak disisipi ragu. Bilakah ini? Akan tepatkah bila? Mampukah kita?

Mari tetap seperti saat ini saja
Nimati apa yang mampu kita kecap sekarang. Masalah perasaan, biarlah tetap menjadi rahasia hati masing-masing. Setiap getar, biarlah hanya mengguncang hati. Entah berhenti, atau bertambah besar, Cukuplah Tuhan yang mengatur.

"Sama seperti kita, perasaan punya jatah usianya sendiri-sendiri. Manusia bukan Tuhan yang bisa mengatur ajal cuman dengan berkata; Kun!"
 _Perempuan

Mari tetap di jalur masing-masing.
Saya berdoa sepenuh harap agar tak saling bersilangan.

Makassar, 1 Januari 2014
Rabu, 01 Januari 2014

Selamat

~ Teruntuk,

Lelaki yang membuat saya mencintai langit dan laut

Detik, menit, jam, hari,minggu, bulan, dan akhirnya tahun berganti. Usiamu tak lagi sama.
Saya hanya mampu mengirim doa. Doa yang panjang kepada Tuhan saya.
Kebesaran apapun yang selama ini kau namai sang Esa, semoga Dia sepengasih yang terkabar.
Semoga ditumpahkannya pintaku ke pangkuanmu.

Tak tepat rasanya bila hanya saya yang berdoa. Sungkupkan saya dengan semesta doamu pula.
Semoga saya tetap diberi kekuatan. Semoga tak rubuh ketegaran saya.
Semoga cepat saya diberi kelapangan serupa Ayub. Kelapangan untuk menerima, selamat ulang tahun saya tidak akan pernah lagi dapat saya ucapkan langsung di depanmu.

Hendak hadiah apa?
Bilakah cukup sesimpul pita untuk kadomu?
Kamu teramat istimewa, yang hanya sebuah dua buah barang untukmu, malu saya namai hadiah.
Dulu bahagiaku selalu menjadi junjunganmu. Dulu.
Olehnya, lihatlah saya kini. Cukup diberi kelapangan oleh Tuhan.
Cukup dianugerahinya tawa.
Tak senantiasa bahagia memang hidup saya. Ada hari-hari ketika saya ingin menutup mata bagi semua hal. Namun, disanalah indahnya hidup bukan? Setiap detik adalah kejutan.
Yang tak terbaca bahagia atau tangis yang dibawanya.
Semoga genap untuk kau anggap hadiah.


Sekali lagi, selamat mengulang hari kelahiran!
Semoga -ini SEMOGA yang BESAR- cepat saya mendamaikanmu di hati.
Agar tak banyak luka hati orang lain.