Sabtu, 27 April 2013

A Perfect Ten

"Senyummu? Nilainya sempurna sepuluh"

Terakhir kali mendengar kalimat itu 3 tahun yang lalu.
Dan hey, sampai saat ini masih terus sempurna bertengger diingatan. Tidak bermaksud hidup dimasa lalu. Hanya saja, selalu ada yang menyejukkan setiap kali kalimat dan suara itu terngiang kembali.
Jangan terlampau khawatir tentang saya.
Saya baik. Sebaik bintang, hujan, pelangi dan mentari setahun belakangan ini.
Tapi kamu tahu? menjadi terlalu baik itu membosankan.
Perlu sedikit sakit untuk bisa lebih menghargai bahagia bukan?

Malam ini ada yang mengucapkan kalimat yang sama. Meski hanya lewat pesan singkat,
tetap saja menyentuh dalam.
Selalu seperti itu bukan?
Ada siklus yang berulang di semesta.
Seberapa unik pun sesuatu, akan selalu ada perulangan-perulangan yang entah dari mana, dari siapa.
Siapa sangka 3 tahun kemudian nasib akan memuntahkan kembali kalimat yang harusnya hanya boleh keluar dari mulutmu itu?


Anyway, siapapun yang mengirimkan pesan singkat itu, terima kasih.
Pesan itu menyejukkan hati saya. ^_^
Jumat, 19 April 2013

25 Hal Kecil Tentang Kamu yang Mendekam di Ingatanku

1. Kamu selalu mengawali hari dengan secangkir teh dan beberapa penganan ringan.

2. Apapun hasil yang kamu dapatkan diluar, meski hanya sekotak kue, Kamu selalu membungkusnya pulang untukku.

3. Saat kita masih kanak-kanak, kamu selalu membawaku kemanapun kamu pergi. Bahkan sekarang. Saat kita sudah sebesar ini.

4. Ketika ada hal penting yang terjadi padamu, selain pada Tuhan, kamu selalu membaginya denganku.

5. Kamu lebih senang mengenakan t-shirt dari pada kemeja.

6. Kamu senang menonton film india, sama sepertiku.

7. Kamu lebih senang wanita yang anggun dan keibuan daripada yang cantik.

8. Ketika hendak memilih pacar, orang pertama yang kamu minta sarannya adalah saya.

9. Kamu senang memasukkan bantal guling ke dalam selimutmu saat tidur.

10.Saat kita masih kanak-kanak, kamu senang menggendong saya dipunggungmu untuk kemudian kamu benturkan ke dinding. -_-!

11. Meski selalu berpura-pura cuek, kamu sangat mudah tersentuh oleh penderitaan orang lain.

12. menurut saya, kamu selalu menjadi yang paling dewasa diantara kita bertiga.

13. Kamu tidak suka dinilai berdasarkan nama keluarga, harta orang tua, ataupun merk pakaian yang kamu pakai.

14. Kamu baru pandai mengendarai sepeda saat kelas satu sekolah menengah pertama.

15. Kamu senang menjadi 'septic tank' teman-temanmu.

16. Kamu shalat cepat sekali, alasanmu karena sudah sangat sering kamu lakukan, jadinya lancar.

17. Kamu selalu berusaha memberikan contoh yang baik buatku.

18. Panggilan kesayanganmu untukku : Blacky. Ketika teman-temanku ikut-ikutan memanggilku seperti itu, kamu melarang. Katamu hanya kamu yang boleh memanggilku seperti itu.

19. Kamu selalu punya berpikir sangat panjang untuk hal-hal urgent dalam hidupmu. Meski kadang karena panjangnya, kamu jadi tidak berbuat apa-apa.

20. Saat kita masih kanak-kanak, kamu sangat benci mengenakan celana pendek.

21. Kamu tidak bisa dan tidak mau mengisap rokok.

22. Kalau kamu marah, telingamu berubah menjadi merah.

23. Ada bekas luka kecil di dahimu yang kamu dapatkan saat bermain bola waktu masih duduk disekolah dasar.

24. Kamu selalu sangat ingin membanggakan orang tua.

25. Kamu kakak paling sempurna yang diberikan Tuhan untuk saya.


Selamat ulang tahun, kakak.
Semoga semua yang terjadi padamu selama 25 tahun hidupmu, membuatmu semakin "Kaya"
Terima kasih, sudah berusaha menjadi kakak dan panutan yang baik buat saya.
Terima kasih untuk Tuhan karena sudah mentakdirkanmu dilahirkan dikeluarga kita.


PS : Meski sudah sebesar ini, untuk kamu, saya masih adik kecil yang akan selalu berbuat salah dan merongrong kesabaranmu. Jangan perah menyerah memberi nasehat dan membuat saya menjadi orang yang lebih baik.
Senin, 01 April 2013

Berani Itu Sederhana

"Keberanian adalah saat kau tahu kau akan kalah sebelum memulai, tetapi kau tetap memulai dan kau merampungkannya, apapun yang terjadi. Kau jarang menang, tetapi kadang-kadang kau bisa menang"
_Harper Lee


Menjadi berani buat saya sampai saat ini selalu diidentikkan dengan sesuatu yang ekstrem. Sesuatu yang dilakukan seseorang ketika yang lainnya memilih untuk tidak melakukannya. Benar-benar, entah dari mana saya mendapatkan gambaran itu. Saya salah menafsirkan berani dengan nekat. :-D


Beberapa hari belakangan, banyak hal yang terjadi yang memutarbalikkan semua yang saya ketahui tentang definisi berani. Saya sedang berada dijalur cepat beberapa saat yang lalu. Semua hal dihidup saya seolah-olah memacu saya untuk menyelesaikan semua dengan cepat dan benar secara bersamaan. Terkadang saya sampai sesak nafas memilih mana duluan yang harus saya selesaikan. Apalagi saya tipe orang yang tidak bisa membiarkan sesuatu yang saya kerjakan, berakhir dengan hasil yang buruk menurut saya. Saya akan berusaha sekuat mengkin menyelesaikan sesuatu yang saya kerjakan sekuat-kuat saya mampu berusaha. Untuk itu, terkadang, saya lebih memilih tidak mengerjakan sesuatu apabila saya tahu saya tidak akan bisa maksimal disana.

Namun, ketika keadaan memaksa saya untuk mau tidak mau harus mengerjakan semua hal, semua tanpa terkecuali harus saya selesaikan dalam waktu yang bersamaan, saat itu saya sadar, bukan bagaimana nanti hasilnya yang membuat segala yang saya kerjakan berarti. Akan tetapi, berani tidak saya memulai tanpa jaminan apa-apa. Berani tidak saya melangkah tanpa tahu di ujung sana apa yang menunggu saya. Ini seperti saya memutukan untuk terjun dari ketinggian tanpa tahu ada tidak yang akan menangkap saya dibawah sana.

Akhirnya, saya memutuskan untuk terjun bebas, untuk mencoba menyelesaikan semua sebisa saya. Entah nantinya akan seperti apa, setidaknya saya sudah mencoba. Begitu pikir saya diawal. Sebisanya saya mencoba menunaikan kewajiban saya sebagai seorang anak, sebagai seorang mahasiswa, sebagai seseorang yang tergabung di organisasi dimana saya memiliki tugas yang mau tidak mau harus saya kerjakan, mencoba tidak menyampingkan peran saya sebagai seorang adik, seorang yang memiliki sahabat, seseorang yang memiliki tuntutan akademis, seseorang yang harus menjadi kebanggan orang tua saya, seseorang yang harus menyelesaikan sesuatu yang dipilih untuk ditekuninya sejak pertama. Ketika semuanya itu digabungkan, terkadang rasanya saya tidak mampu bernapas. 

Akan tetapi, dalam prosesnya, saya sadar, tidak hanya saya yang sedang berjuang. Setiap orang memiliki pertempurannya masing-masing. Pilihannya untuk memulai dan mengakhiri bagaimana harusnya segala sesuatu itu harus berakhir. Hal itu yang membuat saya seolah terbangun. Memikirkan segala sesuatu tanpa melakukan langkah apapun untuk menyelesaikannya tidak akan menjadikan beban itu lebih ringan. Mulailah dengan mengerjakan satu-persatu. Dengan langkah-langkah kecil pada awalnya yang akan membuatmu berlari dan kemudian terbang suatu saat.

Ketika saya sedang berlari kesana-kemari berusaha menyelesaikan segalanya, sesuatu terjadi yang hampir saja membuat langkah saya terhenti. Saya hampir saja memilih untuk mundur. Saya, yang satu-satunya hal yang sangat saya tabukan adalah berbohong, entah dengan alasan apa, entah itu hanya asumsi, atau memang ada hal yang terjadi yang dalam prosesnya membuat orang kehilangan kepercayaan kepada saya. "Dia itu tidak bisa dipercaya. Selalu saja beralasan bila mengerjakan sesuatu". Ah, sampai saat ini pun saya terkadang masih merasa sedemikian kecewanya bila mengingat kata-kata itu. Akan tetapi, terlintas dipikiran saya, orang lain tidak benar-benar tahu apa yang saya hadapi. Orang lain, semirip apapun sesuatu yang pernah terjadi dihidupnya dengan apa yang saya alami, namun tidak akan pernah benar-benar sama. Orang lain, ya orang lain. Dengan proses berpikir dan memandang sesuatu yang tentu saja sangat berbeda dengan saya. Jadi, mengapa saya harus membiarkan penghakimannya kepada saya menjadi sesuatu yang benar-benar nyata? Dia memberi label kepada saya, itu haknya. Dan saya belum tentu sesuai dengan apa yang dia katakan. Saat itu, kakak saya mengirimkan sebaris kalimat yang sedikit melegakan saya.

"Ketika seseorang memberikan penilaian kepadamu, itu sama sekali tidak menunjukkan orang seperti apa kamu, lebih kepada orang seperti apa dirinya"
* * *

Namun tetap saja itu menyakiti hati saya. Saya, selalu saja menghindari memberi label kepada orang lain. Karena saya juga sangat benci dilabeli orang lain dengan seenaknya. Saya sadar, saya tidak akan pernah benar-benar tahu apa yang dia lakukan dibelakang saya. Melihat pun, belum tentu sesuai dengan apa yang orang lain maksudkan. Kita tidak akan pernah benar-benar mengerti alasan orang lain melakukan sesuatu. Saat itu, saya memutuskan menyelesaikan kewajiban saya untuk kemudian memilih mundur. Tenggat waktu seminggu yang diberikan untuk menyelesaikan proyek #kerjakeras, demikian salah seorang senior saya diorganisasi menyebutnya, saya pergunakan sebaik-baiknya untuk menikmati detik-detik terakhir saya berada dilembaga tersebut. Saya berpikir, saya tidak akan sanggup berada di tempat orang-orang, yang harusnya dewasa menurut saya, seenaknya saja memberi asumsi yang melemahkan tekad saya untuk berjuang. Apalagi ketika dia tidak benar-benar tahu apa yang terjadi kepada saya. Proses saya mengkomunikasikan keadaan saya, yang mungkin membuatnya mengambil kesimpulan saya sedang beralasan.

Pada akhirnya, ketika semua kewajiban saya telah terselesaikan, ketika keesokan harinya menjadi hari saya memilih untuk mundur, suatu kebetulan kecil terjadi. Senior saya, pada hari yang sama, memposting sesuatu di blog pribadinya. Sesuatu yang mungkin kecil, dan hanya dilakukan karena iseng, atau entah dengan alasan apa. Namun hal tersebut sedikit menyentil saya. Apa yang saya lakukan mungkin bagi saya kecil, akan tetapi tidak sama halnya dengan anggapan orang lain. Ketika saya menyelesaikan sesuatu yang memang merupakan kewajiban saya, saya tidak menyadari betapa sesuatu yang saya anggap biasa saja itu, dimata orang lain menunjukkan keberanian saya. Menunjukkan kemauan saya untuk berjuang dan menyelesaikan, apapun hasilnya nanti. Postingan itu membuat saya sadar, mengapa saya harus kehilangan keberanian hanya karena orang lain memiliki anggapan yang salah mengenai saya? Mengapa saya harus membiarkan anggapan orang lain menjadi lebih benar dari kenyataan yang saya hadapi sendiri? Towh, dia tidak benar-benar tahu apa yang harus saya hadapi.

* * *
Google

Berani itu tidak seberat saat kamu menaklukkan puncak everest. Berani itu tidak berarti kamu mesti melompati lingkaran api. Berani itu sederhana. Berani itu, ketika kamu memilih memulai sesuatu yang sederhana dan dengan tekun menyelesaikannya hingga akhir. Berani itu, saat kamu tetap bangun dan menghadapi hari yang kamu tahu akan berat dihadapi. Berani berkata tidak kepada sesuatu yang menurutmu tidak benar, meski harus berhadapan dengan mayoritas yang menentangmu. Dan terkadang berani itu, berarti mengakui bahwa kamu tidak selalu bisa. Kamu tidak selalu mampu melakukan sesuatu dengan baik dan benar. Yang membuatmu menjadi berani bukan apa yang kamu hasilkan, tapi pilihanmu untuk tetap melangkah dan menyelesaikan, apapun hasilnya nanti.

* PS : Untuk postingan kecil yang mengembalikan keberanian saya, terima kasih banyak.Terima kasih untuk tidak membiarkan saya menjadi pengecut dan mundur dari pertempuran yang belum saya selesaikan. Terima kasih untuk tetap menyisakan sedikit kepercayaan kepada saya ketika kenyataan yang tampak, membuat saya berada diposisi yang meragukan. Kumawo.... :-)