Jumat, 04 April 2014

Ini Bukan Tentang Melupa

~Kak;

Awalnya. Dulu. Saya tidak menganggap serius apa yang kau lakoni saat ini. Semacam anggapan itu hanya rasa suka sementara ditambah sedikit tantangan mengenai penaklukkan. Hanya seperti itu. Semakin kesini, saya mulai sering menatap lama, memberi sedikit perhatian saat kau sedang duduk, menekuri HP, mengetik tak henti. Sesekali kau tersenyum. Kali yang lain berkerut keningmu. Saya belum pernah mendapatimu seperti ini.

Saya tidak punya kualifikasi apa-apa untuk sekedar menyampaikan satu dua kata kepadamu. Ini hanya tentang apa yang saya rasakan. Pungutlah satu atau dua bila kau rasa penting. Ini tentang melupakan ya? Saya pernah bodoh dulu, pernah dibodoh-bodohkan pula oleh orang lain. Lelaki. Saya pernah bodoh karena mencoba sekuat tenaga menghapus kenangan. Seakan saja ada yang bisa berlaku seperti itu. Lelaki itu membodoh-bodohkan saya, kerap hilang sabar, hanya karena saya tidak mampu melupa dengan cara yang dia inginkan. Tidak hanya seorang, beberapa.


Manusia sepaket menurut saya. Cara berpikirnya, lakonnya, masa lalunya. Apa yang masing-masing dari kita pernah laluilah, yang menurut saya membuat masing-masing kita berbeda. Unik. Yang membentuk kita hari ini. Cara kita berpikir, menyikapi sesuatu, dan cara kita menjadi arif dengan sesekali berkunjung ke masa lalu.

Kerap kali orang-orang melabeli saya hidup di masa lalu. Dia juga seperti itu. Seorang lelaki, satu-satunya yang betah menunggui saya setahun belakangan. Hanya saja dia kerap marah. Merasa tersaingi dengan isi kepala saya. Iya, saya kerap mengunjungi ingatan, untuk mengingat kembali cara seseorang pernah menepuk kepala saya, saat saya sedang sangat tidak bersemangat. Benar, saya sering mengingat caranya mengerutkan kening kemudian tertawa keras ketika saya kerap melanggar nasihat, hingga kemudian jatuh sakit. Namun, bukankah itu wajar? Mana rela saya membuang suatu masa ketika saya merasa hati saya benar-benar bahagia.

Hingga akhirnya beberapa bulan yang lalu, marahnya memuncak. Kemudian memilih pergi, tak hendak kembali hingga saya mampu menghapus semua. Dia tak tahan berperang dengan kenangan katanya. Saya berpikir lama, hingga akhirnya menyimpulkan, ini bukan tentang saya, ini tentang peperangannya dengan sebagian dari saya, yang tak mungkin saya lepaskan. Begitu sibuknya, hingga dia lupa untuk menanamkan dirinya sendiri di kepala saya. Selain sebagai seseorang yang dengan begitu gigihnya mencoba membuat saya amnesia.

Ini bukan tentang menghapus apa yang pernah kita lalui. Ini tentang membuat kenangan baru. Yang membahagiakan, yang menyedihkan, yang manapun itu, asal bersama orang yang tepat. Bagi kami, perempuan, bagi saya lah setidaknya, tidak menjadi yang pertama pun tak mengapa. Asal, kamu punya cukup kekuatan untuk sampai di akhir.

2 komentar:

  1. Hm....saya tidak pernah memaksa seseorang untuk melupakan masa lalunya. Tidak. Hanya, mungkin saya memang tidak bisa membuat kenangan baru baginya. :)

    BalasHapus
  2. "Hanya, mungkin saya memang tidak bisa membuat kenangan baru baginya. :)"
    Manusia, menurut saya kerap membuat-buat sendiri kemungkinan yang menyurutkan usahanya untuk tetap berjuang.

    BalasHapus

Thanks for your caring..... :)