I Will Survive
~ Fahd Djibran
/I/
V, berapa banyak jejak kaki yang tertinggal di punggungmu, dari mereka
yang meminjam tubuhmu untuk berpijak, menapak ketinggian lalu meludahi
wajahmu atau melambaikan tangan tanpa salam perpisahan? Berapa kali
harus kau hirup sesak udara kecewa, berapa lama lagi kau harus terus
mengubah duka dan amarah menjadi selengkung senyum palsu di wajahmu?
/II/
V, kadang-kadang waktu menjelma pasir pantai di genggaman tangan kita
yang rapuh, menggugurkan sejumlah kesempatan—dan mungkin kita tak bisa
memungutnya kembali. Sebab ada sejumlah rahasia yang tetap harus kita
sembunyikan dalam kepalan, menjadi semacam tinju yang selalu urung kita
lemparkan pada seratus ribu wajah kesombongan dan kemunafikan. Maka
rentangkan saja tanganmu, V, bukan untuk menyerah:
Biarkan angin menyambut pelukmu, membelai wajahmu yang ragu. Sementara,
simpanlah perih dalam dua matamu yang terpejam, bersabarlah, barangkali
kau memang ditakdirkan menjadi seseorang yang setiap hari harus
mengeringkan air matanya sendiri.
/III/
V, aku melihat nyala api di hatimu. Bara yang menempa keberanian dan
mematangkan batinmu. Jagalah nyala itu, V, tapi jangan biarkan tubuhmu
terbakar! Aku pernah melihat orang-orang dengan tubuh yang terbakar,
nyala api membutakan mata mereka, rambut api berkobar-kobar di kepala
mereka, lidah api membakar kata-kata mereka:
Orang-orang kalah yang sedang menghancurkan diri sendiri!
Jadilah manusia yang lebih kuat dari amarahnya sendiri, V. Masuklah
kedalam golongan mereka yang lebih lembut dari apapun yang lebih tipis
dari segala kepalsuan selaput halus yang tak berjarak dari kedua bola
matamu—sebab yang paling halus itulah yang menggerakkan yang paling
berat sekalipun. Demikianlah kita diajarkan, V, dari hal-hal baik,
belajarlah mengucap syukur. Sementara dari hal-hal buruk, belajarlah
untuk menjadi lebih kuat.
/IV/
V, aku mendengar getar suaramu, lirih doa-doamu, dalam nada-nada yang
kaurahasiakan dari hiruk-pikuk pesta dunia. Dan tiba-tiba aku ingin
menuliskan bait ini, barisan kata-kata yang di dalamnya kupanggil namamu
seperti teman lama yang saling bertanya dalam gelap malam yang selalu
memikul banyak kegelisahan. Semua yang ada pada diriku, V, kekalahan dan
kegagalan-kegagalan, terangkum dalam melodi-melodi patah hati yang kau
teriakkan. Aku suka kata-katamu tempo hari, V, “
Semua orang perlu kekalahan, tetapi kekalahan bukan tempat tinggal yang baik...”
/V/
V, aku bahagia ketika kau mengemasi lagi ranselmu dan mengikat kembali
tali sepatumu. Kau yang mengembalikan semangatmu, membuatku seribu tahun
lebih muda dan jauh lebih kuat memikul beban dunia. Aku suka melihat
matamu yang tegar menatap cakrawala, sekali lagi, tubuhmu yang berdiri
tegap, sekali lagi, senyummu yang seolah menantang keangkuhan kenyataan,
sekali lagi. Tiba-tiba aku melihat dirimu yang berbeda sedang berdiri
di atas dua sepatu yang sama. Tiba-tiba luka-luka dalam diriku
menyembuhkan dirinya sendiri.
Tiba-tiba segala yang telah gagal membunuhmu, menjadikanmu jauh lebih kuat... dan jauh lebih kuat dari sebelumnya...
/VI/
Apa yang telah membuatmu bertahan, V? Apa yang membuatmu kembali bangkit dari kegagalan? “
Kita memanggilnya dalam gelap. Dia yang tak terlihat, tak tercium, tak teraba dan tak terdengar... tetapi selalu datang!”
Katamu. V, aku selalu suka kata-katamu tentang Muasal Segala Sesuatu,
aku selalu suka deskripsimu tentang Akhir dari Segala Sesuatu. Dan kita
yang berada di antara kedua batasnya, tak bisa sejengkalpun lari dari
wilayahnya!
/VII/
Teruslah bernyanyi, V.
* * *
Untuk
itu, teruslah berjalan. Tidak perduli seberapa berat, tidak perduli
seberapa sulit. Perjalananmu bukan mengenai penghargaan. Perjalananmu
adalah pencarian, pencarian akan bahagia. Bahagia ketika kau mampu
mencintai dirimu sendiri apa adanya, sebelum orang lain melakukannya
terlebih dahulu untukmu. Bahagia ketika kau mampu menerbitkan satu saja
senyum dibibir orang lain, karenamu. Bahagia, ketika ayah-ibumu dapat
berkata "itu anak saya", ketika kakak-kakak lelakimu dapat dengan bangga
berucap "itu satu-satunya adik perempuan saya".
Teruslah berjalan!
Dekap erat mimpi-mimpimu.
Kau berutang jadikannya nyata.
Ingat kembali hari ini, kata-kata ini, ketika suatu saat nasib kembali menelikungmu jatuh.